ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00-IDBLANTER.COM
ZDIRY-TUFWT-EBONM-EYJ00
BLANTERWISDOM105

Thanos Jadi Tukang Cukur

Friday, June 5, 2020
Akhir-akhir ini tukang cukur dekat rumah tak pernah buka, padahal ada dua tempat, keduanya kompakan tutup. Apakah suatu kebetulan saja tiap saya mau ke sana mereka selalu ada halangan sehingga mengabaikan saya sebagai calon pelanggan? Atau mungkin mereka berdua janjian untuk tidak melayani saya? Entahlah. Termasuk hari ini. Hari ini adalah kali ketiga saya ingin potong rambut dan mereka masih tutup juga. Akhirnya saya memutuskan nyari tempat lain yang jaraknya agak jauh, ya sambil nyore saja sih sekitar jam 17.00 dan semoga tidak keburu hujan meski agak mendung.

Dengan menempuh jarak yang agak jauh, akhirnya saya menemukan juga tukang cukur yang buka. Mungkin memang sudah rizkinya tukang cukur tersebut sore ini sepertinya. Nama tempat pangkas rambutnya Lukman Barber Shop, hal itu bisa diketahui dari tuisan di papan dekat pintu masuknya, pasti orang garut lah kayaknya. 

Sebelumnya saya harus antri dulu, karena ada anak kecil yang juga sedang potong rambut dan dijaga ketat sama mamahnya. Sesekali si tukang cukur bertanya sama mamahnya memastikan potongannya sudah sesuai dengan selera mamahnya atau belum. Anaknya kira-kira umur tujuh atau delapan tahun lah.

Setelah anak itu beres maka tibalah giliran saya. Saya duduk dikursi cukur dan berusaha rileks dengan posisi agak rebahan. “Bade gaya kumaha, A?”  tanya tukang cukur sambil menyelimutkan kain pelindung supaya badan saya tidak terkena potongan rambut dari kepala. 

“Ah abdi mah asal rapih we” jawabku ngasal, sejujurnya saya paling tidak tahu masalah model potongan rambut, dan memang saya tidak pernah aneh-aneh kalau potong rambut. Tak pernah protes, pasrah aja, yang penting rapi dan enak dipandang. Kemudian mulailah si tukang cukur itu mengeksekusi rambutku yang agak panjang dan pirang.

“linggih di mana a?” tanyanya lagi, mungkin basa-basi saja.
“eta di palih pengker a, gang menara” jawabku.
“oh, tos lami di dieu? Atawa emang asli orang dieu?” tanyanya lagi sambil membengkokkan kepalaku agak ke kiri.
“atos, tara ka mana-mana da, asli mah ti Cianjur” jawabku lagi.
“oh Cianjur, damel naon a? Icalan?” katanya kembali bertanya.
“ah henteu, sok aya we” timpalku.

Cuma sampai itu saja obrolan kami, tidak ada pertanyaan lain. Atau mungkin sudah tak terdengar lagi olehku pertanyaannya. Selanjutnya si tukang cukur itu fokus merapikan rambutku. Tak lama kemudian, di luar terdengar ada yang teriak-teriak. Teriak menawarkan jualannya, lebih tepatnya jualan bakso malang.

“hayoh atuh beulian, erek moal?” teriaknya sambil melihat ke tukang cukur, sepertinya mereka memang sudah akrab.

“sok atuh ka dieu heula, asal dianjukkeun” jawab tukang cukur, sambil tetap mengubah-ubah posisi kepalaku.

“ah ripuh euy neangan duit teh ayeuna mah” seloroh tukang bakso sambil duduk kursi luar yang tadi saya tempati saat nunggu antrian.

“boga hape alus lin nu rek dijual?” tanya tukang cukur.

“enya sok, hargana dua juta, anyar keneh, lamun erek sok beuli sajuta dua ratus lah, ripuh mayarannana, can aya kuotaan ngan, tah tingali” timpalnya sambil menunjukkan hape yang dimaksud.

Tukang cukur sempat melihat tapi tak lama, “euweuh duit tapi ayena mah, naha dijual pan loba duit lin?” tukang cukur kembali bertanya.

“ah kamari ge balik urang mah rek menta bantuan ka RT, ari heg teh teu meuang, di ditu teu menunang di dieu teu meunang, teu baraleg” jawab tukang bakso.

“mending geus bisa balik, urang mah can balik-balik” timpal tukang cukur.
“heueuh ayena teh sumbangan turun, tapi moal nepi ka urang-urang mah, paling ku RTna dibikeunan ka dulur-dulurna, matak kesel urang mah”

“siga nu nyaho we aya bantuan? Ceuk saha kitu?” tanya tukang cukur sambil meyakinkan.

“eh pan urang mah ningali turun (bantuan) tina mobilna ge” jawabnya sambil suaranya meninggi, “sok atu erek meuli moal, bisi kaburu magrib yeuh, can solat asar mangkaning” tambahnya lagi.

“nya sok atu, wadahan, karunya, urang anjuk, solat heula atuh di dieu nepika magribmah” kata tukang cukur memberi saran.

“sieun hujan, sok mana wadahna?” kata tukang bakso sambil berdiri dari duduknya.
“ke” jawab tukang cukur singkat dan tak lama kemudian, si tukang cukur menyuruh anaknya mengambilkan mangkuk.

Tak terasa, sambil menyimak pembicaraan mereka, rambut saya juga sudah hampir beres, tinggal merapikan pinggirnya saja. Setelah itu diambilah pisau cukur yang tajam itu, lalu ditempelkan dekat pilipis sampai dekat telinga, kadang-kadang ngilu juga ya pada bagian finishing ini. Takut salah gores, kan horor kalau salah sedikit juga.

Setelah dikira beres dan rapi, si tukang cukur memberi penawaran “bade diurut a?”
Aku tak panjang mikir langsung mengiyakan “sok a”, siapa juga yang tidak mau diurut setelah dicukur.

Kemudian tukang cukur itu mengambil minyak urut yang diusapkan ke tangannya lalu disemprot sedikit air, setelah itu digosok-gosok di telapak tangan dan mengusapkannya ke bagian leher dan pundak saya.

Ternyata eh ternyata, si tukang cukur ini emang lebih cocok jadi tukang cukur daripada tukang urut. Awalnya saya membayangkan betapa enaknya diurut setelah merasakan pegal beberapa menit saat dicukur tadi. Pasti rileks dan enjoy pokoknya. Tapi kenyataannya jauh panggang dari api! Tangannya agak kekar, besar, plus kasar. Tak cukup sampai di sana, saat dia mengurutkan pertama kali ke leher saya, urutannya amat kencang, power full, begitu yang saya rasakan, bukannya enak, yang ada hanya rasa sakit. Makin lama kok makin beda perasaan ya? Ini si tukang cukur mau ngurut apa mau memutuskan leher saya?

Setelah itu tangan kekarnya turun ke bagian pundak. Allahu Akbar, pundak saya dipencet-pencet seperti mengaduk adonan bakso! Rasanya tukang cukur ini mau melepaskan otot-otot pundak saya dari tulang selangkanya. Ini tukang cukur niat ngurut atau niat ngusir saya supaya cepat pulang ya?

Si tukang cukur sama tukang bakso sebetulnya masih melanjutkan obrolan. Tapi setelah saya “disiksa” seperti ini, saya sudah tidak bisa menyimak lagi apa yang mereka bicarakan. Sebetulnya saya sudah tak tahan. Tapi saya juga merasa ga enak kalau menghentikan dan memotong pembicaraan mereka. Saya mencoba pasrah saja.

Setelah puas “mecabik-cabik” pundak saya, tangan kekarnya kembali naik ke leher. Lalu diurut-urutkan lagi. Ah rasanya kepala saya sudah seperti kepala boneka yang suka ada di dashboard mobil kayaknya, goyang-goyang dan geleng-geleng wkwkwk.

Penderitaan saya belum beres, Guys! kini tangan Thanosnya mulai naik ke kepala, sepertinya memang mau memecahkan kepala saya. Dia urut-urut, terutama di bagian dekat pelipis kiri dan kanan. Dia memutarkan jari-jari “jahatnya” tepat  di atas sudut mata. Ya Allah, kepala saya sudah agak tersungkur ke depan juga masih saja terus memutarkan jarinya! Setelah itu dia berkata “beres, a” katanya sambil ngambil handuk kecil berwarna merah dan memukul-mukulkannya ke badan saya. Mendengar kalimat itu, ingin rasanya saya sujud sukur, tapi tidak, karena badan masih sakit.

Sejenak saya terdiam sambil narik napas dalam-dalam. Wajah yang masih nyengir merasakan kesakitan. Lalu saya pegang kepala, untuk memastikan kepala saya baik-baik saja. Tidak melebur seperti yang dilakukan oleh Thanos kepada pasukan Avengers. Saya sentuh juga bagian pelipis yang tadi puter-puter oleh jari-jari kasarnya, saya bisa merasakan bahwa pembuluh venanya jadi menonjol, untung tidak sampai pecah.

Sambil mengocek saku ngabil uang untuk bayar. Saya beranjak dari kursi dan mengucapkan terima kasih. Tentu saja terima kasih untuk cukur rambutnya, bukan untuk urutannya! Saya langsung pulang dengan langkah cepat dan diiringi gerimis tipis. sepertinya langit sedih dan ikut merasakan penderitaanku saat ini wkwkwk..
Share This :

0 comments